July 16, 2010

Need Money! Employ Me!

It seemed that this freelancing thing doesn't really suit my recent travel itches. So I'm planning to apply to steadier jobs. Here's my newest Hire Me Please.....

full download here
As I began to build my portfolio I came across "Buket" my zine of short stories collection from couple years ago (Yay!!!). On which you could download  here
Cerpennya dalam Bahasa Indonesia, ya teman.....  Ini cerita pembukanya. (I find myself a tad  too serious when writing in Bahasa, wonder why.....)


Buket

Kota ini hidup dari kesedihan. Langitnya selalu abu-abu dengan sentuhan aroma kemuraman. Tak ada yang suka akhir yang bahagia.
Eh bagus bukan filmnya?”
Iya tapi lebih baik dua-duanya mati di akhir cerita, lebih tragis.”
“Kenapa? Sehabis mati berkali-kali, terus hidup lagi, masakah tak diberi kesempatan buat hidup bahagia?”
“Nah, itulah masalahnya, hidup bahagia itu cuma ada di film-film dan cerita. Kenyataannya mana ada yang seperti itu.”
“Tapi aku suka saat mereka berdua membicarakan kematian si atas  ranjang.”
“Aku suka saat hidup orang-orang yang ditemuinya berubah seiring dengan perubahan keputusan yang diambil di kehidupan selanjutnya.”
Lalu hening, lamat-lamat. Kebahagiaan lebih mudah jika ia maya. Karena kenyatan selalu membenturkan diri dan memasungnya.


Kesedihan meraja di hati. Disuburkan oleh tak adanya harapan, juga adiksi.
“A, aya dados a?”
Meski sejenak, sempat lepas.

Kisah tentang Cinderella yang selalu diulang, dengan kesekian  kali berubah bentuk. Si cantik yang hidupnya terlunta.
“Kasihan ya,…”
Semua orang sudah tahu bagaimana akhirnya, tanpa perlu meniti tiap tayangan. Namun tetap saja terbata-bata dengan airmata di tiap episode. Sedikit melegakan mungkin, mengetahui ada orang yang hidup dengan cara yang lebih menyedihkan. Meringankan mungkin mengetahui kesabaran berbuah.
Bagaimana membeli nasi esok hari lain lagi. Ada listrik dan televisi. Tak tertinggal.

“Sabar semua itu cobaan, pasti ada hikmahnya.”
Tentang banjir, tentang polusi, tentang korupsi, juga tsunami. Harga barang yang terus menaik, , jurang yang semakin menukik. Bukan tentang kesewenangan Negara. Itu semua cobaan dari tuhan. Bersabarlah, sebagai sabda.

Juga.
“Untuk bahagia, belilah produk ini. Dapatkan di toko-toko terdekat.” Pesan yang sama. Yang selalu diulang. Juga dipatuhi.


Ketidakbahagiaan itu dipupuk, dipelihara, agar besar nanti berkembang ia. “Bukannya saya malas. Tapi saya tidak punya uang untuk sekolah. Saya belum makan sedari kemarin.” Di pinggir jalanan, sebelum lampu berubah, merah menjadi hijau.”
Uang receh, kaki telanjang yang menghitam, juga sengit lem.

“Mama, mau pergi kemana? Bisakah aku dipeluk sebentar saja?”
“Mama harus pergi, jangan rewel. Kalau mama ada di rumah pasti kamu tak akan belajar. Bukankah kamu harus menaikkan nilaimu di les bahasa Inggris, juga matematika. Mama malu dengan ibu-ibu yang lain. Kmau harus sukses, baru kamu tahu apa artinya bahagia. Baik-baik di rumah, belajar, nanti mama belikan cd game baru”
Ia baru lima tahun. Memandang rumput di luar. Bermain di udara terbuka lama-lama bisa membuat ia sakit, banyak parasit. Ucap ibunya.
Masa kecil, kotak dimana harapan juga kebahagiaan tersimpan, tak berlangsung lama.

“Dewasa itu bukan pilihan tapi keharusan”
“Tapi aku tak mau dewasa, membosankan. Aku juga benci keharusan.”
“Tak segampang itu. Tak ada yang lepas dari jaring ini. Mau kemana kau pergi? Dulu semuanya juga bilang begitu. Percuma, lebih baik menyerah saja.”
Ya, semua temannya pergi entah kemana. Bukan tempat, namun kehangatan. Jawaban semua sapaan isyaratkan gangguan. Hanya ada dua klasifikasi disini, yang mempunyai pekerjaan tetap dan pemalas. Keduanya tak perlu berhubungan. Bekesudahan.
“Salahkah aku berketus? Mengerti saja aku tidak.”
Menghirup udara kelabu itu, dan menelan lagi kemarahan bulat-bulat.

“Hei tadi baru saja kulihat langit senja, warnanya megah sekali. Emas, jingga, merah muda, abu, biru…. Membuat semuanya seperti tersipu-sipu… Terkagum, terhenyak dan membuatku ingin terse…nyu...”
“Langit ya langit, awan ya awan, itu saja. Tak ada arti apa-apa. Kamu bisa menghias wajahmu dengan senyuman. Tapi aku tidak, selama masih banyak anak yang tak bisa sekolah, selama negara masih semena-mena, selama dunia ini masih busuk. Tidak. Maaf kalau aku tak bisa begitu.”
Senyuman pun patah tak berbuah. Membuatnya ragu apakah ia pernah betul-betul bahagia. Bukankah senyuman hanya obat awet muda?
“Kamu boleh senyum, tapi hati siapa yang tahu, apakah kamu bahagia?”

Aku tak tahu. Matikah harapan? Matikankah?
Di kota ini kesedihan tumbuh subur. Kupetik dan kuikat erat dengan pita. Buket dari kumpulan bunga.

Dengan cinta.
Ini untukmu. Semoga kau bahagia.

(2008)

1 comment: