It seemed that this freelancing thing doesn't really suit my recent travel itches. So I'm planning to apply to steadier jobs. Here's my newest Hire Me Please.....
full download here |
As I began to build my portfolio I came across "Buket" my zine of short stories collection from couple years ago (Yay!!!). On which you could download here.
Cerpennya dalam Bahasa Indonesia, ya teman..... Ini cerita pembukanya. (I find myself a tad too serious when writing in Bahasa, wonder why.....)
Buket
”Eh bagus bukan filmnya?”
”Iya tapi lebih baik dua-duanya mati di
akhir cerita, lebih tragis.”
“Kenapa? Sehabis mati berkali-kali, terus hidup lagi,
masakah tak diberi kesempatan buat hidup bahagia?”
“Nah, itulah masalahnya, hidup bahagia itu cuma ada di
film-film dan cerita. Kenyataannya mana ada yang seperti itu.”
“Tapi aku suka saat mereka berdua membicarakan kematian si atas ranjang.”
“Aku suka saat hidup orang-orang yang ditemuinya berubah
seiring dengan perubahan keputusan yang diambil di kehidupan selanjutnya.”
Lalu hening, lamat-lamat. Kebahagiaan lebih mudah jika ia
maya. Karena kenyatan selalu membenturkan diri dan memasungnya.
Kesedihan meraja di hati. Disuburkan oleh tak adanya
harapan, juga adiksi.
“A, aya dados a?”
Meski sejenak, sempat lepas.
Kisah tentang Cinderella yang selalu diulang, dengan
kesekian kali berubah bentuk. Si cantik
yang hidupnya terlunta.
“Kasihan ya,…”
Semua orang sudah tahu bagaimana akhirnya, tanpa perlu
meniti tiap tayangan. Namun tetap saja terbata-bata dengan airmata di tiap
episode. Sedikit melegakan mungkin, mengetahui ada orang yang hidup dengan cara
yang lebih menyedihkan. Meringankan mungkin mengetahui kesabaran berbuah.
Bagaimana membeli nasi esok hari lain lagi. Ada listrik dan televisi. Tak tertinggal.
“Sabar semua itu cobaan, pasti ada hikmahnya.”
Tentang banjir, tentang polusi, tentang korupsi, juga
tsunami. Harga barang yang terus menaik, , jurang yang semakin menukik. Bukan
tentang kesewenangan Negara. Itu semua cobaan dari tuhan. Bersabarlah, sebagai
sabda.
Juga.
“Untuk bahagia, belilah produk ini. Dapatkan di toko-toko
terdekat.” Pesan yang sama. Yang selalu diulang. Juga dipatuhi.
Ketidakbahagiaan itu dipupuk, dipelihara, agar besar nanti
berkembang ia. “Bukannya saya malas. Tapi saya tidak punya uang untuk sekolah.
Saya belum makan sedari kemarin.” Di pinggir jalanan, sebelum lampu berubah,
merah menjadi hijau.”
Uang receh, kaki telanjang yang menghitam, juga sengit lem.
“Mama, mau pergi kemana? Bisakah aku dipeluk sebentar saja?”
“Mama harus pergi, jangan rewel. Kalau mama ada di rumah
pasti kamu tak akan belajar. Bukankah kamu harus menaikkan nilaimu di les
bahasa Inggris, juga matematika. Mama malu dengan ibu-ibu yang lain. Kmau harus
sukses, baru kamu tahu apa artinya bahagia. Baik-baik di rumah, belajar, nanti
mama belikan cd game baru”
Ia baru lima
tahun. Memandang rumput di luar. Bermain di udara terbuka lama-lama bisa
membuat ia sakit, banyak parasit. Ucap ibunya.
Masa kecil, kotak dimana harapan juga kebahagiaan tersimpan,
tak berlangsung lama.
“Dewasa itu bukan pilihan tapi keharusan”
“Tapi aku tak mau dewasa, membosankan. Aku juga benci
keharusan.”
“Tak segampang itu. Tak ada yang lepas dari jaring ini. Mau
kemana kau pergi? Dulu semuanya juga bilang begitu. Percuma, lebih baik
menyerah saja.”
Ya, semua temannya pergi entah kemana. Bukan tempat, namun
kehangatan. Jawaban semua sapaan isyaratkan gangguan. Hanya ada dua klasifikasi
disini, yang mempunyai pekerjaan tetap dan pemalas. Keduanya tak perlu
berhubungan. Bekesudahan.
“Salahkah aku berketus? Mengerti saja aku tidak.”
Menghirup udara kelabu itu, dan menelan lagi kemarahan
bulat-bulat.
“Hei tadi baru saja kulihat langit senja, warnanya megah
sekali. Emas, jingga, merah muda, abu, biru…. Membuat semuanya seperti
tersipu-sipu… Terkagum, terhenyak dan membuatku ingin terse…nyu...”
“Langit ya langit, awan ya awan, itu saja. Tak ada arti
apa-apa. Kamu bisa menghias wajahmu dengan senyuman. Tapi aku tidak, selama
masih banyak anak yang tak bisa sekolah, selama negara masih semena-mena,
selama dunia ini masih busuk. Tidak. Maaf kalau aku tak bisa begitu.”
Senyuman pun patah tak berbuah. Membuatnya ragu apakah ia
pernah betul-betul bahagia. Bukankah senyuman hanya obat awet muda?
“Kamu boleh senyum, tapi hati siapa yang tahu, apakah kamu
bahagia?”
Aku tak tahu. Matikah harapan? Matikankah?
Di kota
ini kesedihan tumbuh subur. Kupetik dan kuikat erat dengan pita. Buket dari
kumpulan bunga.
Dengan cinta.
Ini untukmu. Semoga kau bahagia.
(2008)
ngedados ieu...moal ah.hihihihi
ReplyDelete